
Pernahkan kamu menyentuh sesuatu lalu merenung, "Mungkin aku perlu menghilangkan ini... tapi apa tidak menyesal kalau suatu saat nanti dibutuhkan?"
Apabila begitu, Anda tidak sendiri. Banyak di antara kita memiliki laci sampah (atau bahkan seluruh garasi) berisi benda-benda yang akan "digunakan suatu saat nanti."
Habit ini mungkin terlihat remeh, tetapi sesungguhnya dapat menggambarkan aspek tertentu dari karakter personal dan bahkan memiliki kaitan yang kuat dengan ilmu psikologi.
Berdasarkan laporan dari DM News pada hari Kamis (10/4), berikut adalah kelima karakteristik pribadi yang biasanya dimiliki oleh mereka yang kerap mengoleksi benda-benda tak berguna, diiringi dengan penjabaran lebih lanjut sesuai hasil studi dan observasi dalam bidang psikologi.
1. Perfeksionisme
Alasan utama yang seringkali menjadi dasar untuk menimbun benda-benda tak berguna adalah keperfeksianan. Mungkin Anda merasa, "Jika saya melepaskan barang tersebut dan suatu hari nanti benar-benar dibutuhkan, hal itu akan menjadikan sebuah kesalahan besar."
Disinilah suara perfeksionisme mulai berkumandang. Seorang perfeksionis menginginkan semua hal menjadi flawless, termasuk saat membuat pilihan.
Bayangkan Anda menimbun tiga charger ponsel bekas karena khawatir, "Apa jika yang baru mengalami kerusakan?" Atau mungkin masih menyimpan jaket sobek dengan harapan akan diperbaikan suatu saat nanti.
Tanpa disadari, Anda cuma memperpanjang waktu dalam mengambil suatu keputusan. Di bidang psikologi, perilaku seperti itu dilihat sebagai jenis ketakutan terhadap melakukan kesalahan. Pikiran Anda cenderung untuk enggan bertindak demi mencegah adanya pilihan yang keliru.
2. Kekhawatiran dan Rasa Takut Terhadap Tidak Pasti
Untuk beberapa individu, mengumpulkan benda-benda merupakan cara untuk melindungi diri sendiri. Masing-masing benda tersebut berfungsi sebagai semacam tameng. Lentera yang sudah tidak berfungsi tak hanya dilihat sebagai sampah, tetapi juga dipandang sebagai sumber cahaya alternatif saat listrik mati.
Orang yang mengalami kecemasan berat biasanya membayangkan kemungkinan-kemungkinan negatif tiap kali melihat sesuatu barang. Apa jadinya kalau di masa depan diperlukan? Atau apa jadinya apabila ada situasi darurat?
Psikologi mendefinisikan fenomena tersebut sebagai "ketidaktahanan atas ketidakpastian," yaitu situasi di mana individu sangat tersinggung oleh adanya elemen-elemen yang tidak dapat diprediksi. Sebagai akibatnya, perilaku menimbun benda-benda menjadi cara sementara untuk meringankan kecemasan mereka.
3. Pola Pikir Kelangkaan
Apabila Anda kesulitan untuk melepaskan suatu benda lantaran khawatir tidak bakal menemukannya kembali, mungkin Anda terpaku pada paradigma kelangkaan. Pada konteks ini, rutinitas mengumpulkan berbagai barang lebih berkaitan dengan rasa cemas atas kemungkinan kurangnya sesuatu daripada sekadar keperluan yang harus dipenuhi.
Seseorang yang berkembang di lingkungan dengan keterbatasan finansial umumnya menerima pesan untuk menyimpan barang-barang seoptimal mungkin. Tak heran jika mereka berpandangan bahwa tiap objek memiliki nilai tersendiri yang tidak bisa dibuang begitu saja. Fenomena ini sering dikaitkan dengan dampak dari stresor ekonomi pada tingkah laku manusia dalam konteks kejiwaan.
Mengherankannya, banyak individu yang berpikiran seperti itu malah mengakuisisi perlengkapan ekstra sebagai persediaan. Dengan demikian, mereka tak sekadar menyimpan benda-benda tak terpakai, tetapi juga meningkatkan stok "yang akan dipergunakan di kemudian hari".
Seringkali, hal tersebut justru meningkatkan perasaan ketidakamanan, karena tak peduli berapa banyak yang dimiliki, selalu ada sensasi "masih belum cukup".
4. Keterikatan Emosional
Apa alasan tambahan? Perasaan. Benda-benda yang Anda miliki tak hanya berdasarkan fungsi tetapi juga nilai emosionalnya. Gelas rusak dari pamannya, atau kaus tua yang selalu membuat teringat tentang pertunjukan musik kesukaanmu-- semua ini susah untuk dibuang sebab membawa kenangan.
Inilah salah satu sifat karakter yang sering terlihat pada individu dengan emosi sensitif. Bagi mereka, barang-barang mencerminkan diri atau menyimpan cerita dalam kehidupannya.
Menurut perspektif psikologi, barang-barang semacam itu kerap kali mewakili ikatan emosi yang lebih luas, sepeti kenangan dari masa kanak-kanak, saat-saat berkesan bersama keluarga, atau keterkaitan dengan orang yang telah meninggal.
Membuang sesuatu dapat dirasakan sebagai pengingkaran akan kenangan, walaupun item tersebut telah tak berguna lagi. Inilah yang membuat kebiasaan itu menjadi sukar untuk dilepaskan.
5. Keragu-raguan
Titik poin terakhir yang tidak kalah penting adalah ketidakpastian. Apakah Anda pernah menghabiskan waktu cukup lama di depan lemari hanya untuk kemudian berkata, "Ah, biar besok saja?" Inilah contoh konkret dari pengambilan keputusan yang tertunda.
Seseorang yang kesulitan membuat keputusan untuk urusan sepele biasanya lebih banyak menimbun benda-benda tak berguna lantaran ragu-ragu antara menyimpannya atau membuangnya.
Tiap barang berubah menjadi "pekerjaan yang belum terselesaikan". Seiring waktu, hal itu menghasilkan gunungan kerumitan yang tampaknya makin sulit untuk dituntaskan.
Berdasarkan hasil riset dalam bidang psikologi, orang yang memiliki rasa keraguan yang kuat cenderung lebih terbebani ketika dihadapkan pada proses pengambilan keputusan. Mereka khawatir akan menyesal atas pilihan yang dibuat sehingga lebih memilih untuk tidak membuat keputusan apapun. Alternatifnya adalah menyimpan semua opsi tersebut.
Diakhir hari, rutinitas menimbun benda-benda tak terpakai bukan hanya karena alasan 'akan dipakai nanti'. Hal itu mungkin mencerminkan sifat pribadi, perjalanan hidup, serta aspek psikologis yang lebih kompleks.
0 Comments